Jakarta, Kompas - Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan penetapan calon terpilih dengan sistem suara terbanyak berimplikasi pada keharusan untuk memikirkan ulang desain sistem pemilihan umum secara komprehensif, termasuk soal pemilu presiden dan pemilu kepala daerah.
Tujuan berpemilu harus ditentukan terlebih dahulu sebelum kemudian diracik sistem pemilu yang pas.
Formula penetapan calon terpilih dengan suara terpilih yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi bukan jaminan akan menghasilkan parlemen yang lebih baik.
Pandangan tersebut disampaikan Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto di Jakarta, Jumat (26/12).
Didik menyebutkan, pertanyaan pokoknya adalah tujuan utama berpemilu antara representasi atau governabilitas.
Menurut dia, putusan Mahkamah Konstitusi tidak akan menghasilkan apa-apa karena yang berpotensi muncul adalah orang yang semata-mata mengandalkan popularitas atau kekuatan uang.
Parlemen berisiko menjadi kacau karena anggota yang bermasalah tidak bisa di-recall. Jika kemudian DPR tidak bermutu, kinerja presiden terpilih pun bakal terganggu karena politik transaksional berpotensi semakin merajalela.
Menurut Didik, ia bukan tidak setuju dengan penerapan sistem suara terbanyak untuk menentukan calon terpilih. Namun, formula tersebut harus diikuti dengan perubahan variabel teknis pemilu yang lain, seperti soal daerah pemilihan serta pencalonan dan pemberian suara. Perubahan yang parsial justru akan menghasilkan parlemen yang kacau dan korup.
Didik meragukan penerapan prinsip suara terbanyak akan meningkatkan akuntabilitas DPR terpilih. Pengalaman konkret dapat dilihat pada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sekarang. Pemilih sulit mengontrol kinerja DPD. Sebaliknya, juga diragukan kerja DPD dalam mengurusi kemauan konstituennya.
Kehilangan arti
Secara terpisah, pengajar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Hasyim Asy’ari, di Semarang menyebutkan, putusan Mahkamah Konstitusi itu membuat metode pemberian suara dan juga desain surat suara seperti ”kehilangan arti”.
Jika suara terbanyak yang dipergunakan, mestinya hanya ada nama calon di surat suara. Juga, akan muncul persoalan baru jika jumlah pemilih yang memberikan suaranya dengan memilih tanda atau nomor urut parpol lebih banyak.
Wakil Sekjen Partai Persatuan Pembangunan M Romahurmuziy di Jakarta menyatakan, partainya akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi itu dengan mencegah adanya kesepakatan internal untuk ”mengakali” cara penetapan calon terpilih.
Romahurmuziy menyebutkan, putusan Mahkamah Konstitusi itu berpotensi menjadikan parlemen diisi hanya oleh tokoh dengan kemampuan finansial dan logistik yang kuat atau tokoh yang luar biasa mengakar di konstituennya.
Peraturan KPU
Terkait putusan Mahkamah Konstitusi, pemerintah tidak akan mengeluarkan peraturan pemerintah.
Menurut Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, KPU harus mengeluarkan peraturan KPU. ”Keputusan Mahkamah Konstitusi itu final. Artinya, tinggal KPU yang menindaklanjutinya dengan dibatalkannya UU Pemilu. Pemerintah tidak akan mengeluarkan PP (peraturan pemerintah), sebaliknya KPU yang harus mengeluarkan peraturan KPU,” ujar Kalla, yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar, seusai memberikan keterangan akhir tahun di kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Jumat.
Menurut Kalla, peraturan yang harus dikeluarkan KPU adalah peraturan mengenai tata cara penentuan caleg yang mendapat suara terbanyak dan harus terpilih menjadi anggota legislatif yang baru.
Di Brebes, Jawa Tengah, KPU Kabupaten Brebes mendapat keluhan dan pertanyaan dari sejumlah pengurus parpol maupun caleg terkait keputusan Mahkamah Konstitusi.
Ketua KPU Kabupaten Brebes, Mahfudin, Jumat, mengatakan, pengurus parpol yang mempertanyakan keputusan itu berasal dari parpol yang memiliki kebijakan intern menentukan caleg terpilih berdasarkan nomor urut. Sedangkan para caleg yang mempertanyakan keputusan itu umumnya caleg dengan nomor urut terkecil. (DIK/WIE/HAR)